Sunday, October 19, 2008

KPK Masih Ewuh Pakewuh? (malu-malu)

Jakarta - Okezone


LAHIRNYA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003 cukup membawa angin segar bagi rakyat Indonesia, terutama dalam hal pemberantasan korupsi di negara yang kasus korupsinya telah mengerak ini.

Dahaga kepastian hukum yang dulu dikenal imun karena dapat dibayar dengan lembaran uang atau cek saat hakim dan jaksa di pengadilan negeri hingga mahkamah agung menangani kasus korupsi, terobati sudah.

Berbagai gebrakan yang dilakukan institusi yang umurnya boleh terbilang muda ini untuk menangkap koruptor, lumayan membelalakkan mata masyarakat nusantara.

Para koruptor yang telah menggurita dari pejabat kelas kelurahan, pemerintah provinsi, kelas menteri, anggota komisi pemerintahan, gubernur Bank Indonesia, hingga politisi yang nangkring di Senayan dapat diseret KPK untuk menghuni hotel prodeo dan membayar denda kerugian negara.

Bahkan, saking gereget gerakan KPK sangat militan tak kenal jabatan dan rupa, beberapa pejabat yang duduk di pemerintahan baik di daerah maupun di pusat sempat mengeluhkan tidak berani menggunakan anggaran pendapatan belanja untuk menjalankan roda pemerintahan.

Alasannya satu, takut diciduk KPK karena takut ada selisih uang yang ditemukan terdapat korupsi. Lucunya, beberapa pejabat pun termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya meradang. Mereka menyalahkan tindakan KPK dan merasa dimata-matai institusi itu, karena dalam tindakannya, KPK terkadang juga melakukan penyadapan. Sebuah argumen yang patut dipertanyakan, karena bila benar, mengapa harus takut untuk bertindak.

Upaya terakhir yang dilakukan KPK membuat jera para koruptor, yaitu dengan membuat kostum khas yang akan dipakaikan ke tubuh koruptor. Meski sampai kini, kejelasan tentang kostum itu belum jelas.

Sayangnya, militansi KPK yang telah cemerlang membuat citra institusi pemberantasan korupsi ini menanjak, beberapa hari terakhir dipertanyakan. Terutama setelah KPK merambah korupsi yang terjadi di tubuh Bank Indonesia, yaitu pada penggunaan dana bantuan likuiditas BI dan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).

Pada korupsi di bank nomor satu di Indonesia tersebut, KPK hanya berani memenjarakan beberapa pejabat yang diindikasikan terlibat kasus korupsi, seperti Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Mantan Direktur Hukum Bank Indonesia (BI) Oey Hoey Tiong dan Mantan Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak.

Sementara, untuk Aulia Tantawi Pohan yang menurut para saksi sebagai inisiator penyaluran dana YPPI sebesar Rp100 miliar, hingga kini belum disentuh KPK. Padahal, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mendesak KPK untuk segera bersikap atas status besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini. Sebab, pekan ini, Burhanuddin pun telah dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan delapan tahun penjara.

Uniknya lagi, SBY sendiri telah mempersilahkan KPK untuk melakukan upaya hukum bila besannya itu memang terbukti bersalah. Namun, KPK hingga kini masih bergeming.

Hal yang sama juga dilakukan KPK atas kasus 400 cek yang diterima anggota dewan perwakilan rakyat terkait pemilihan Deputi Senior BI, Miranda Swaray Goeltom. Dengan alasan masih mencari bukti, KPK belum bertindak atas kasus yang dibuka anggota dewan dari Fraksi PDIP, Agus Condro.

Atas kejadian ini, timbul pertanyaan, apakah KPK memang masih ewuh pakewuh dalam menjalankan tugasnya, terutama saat bertemu muka dengan pejabat penting negara. Jika ya, sungguh disayangkan. Karena kegemilangan KPK akan tertutupi dengan celah kecil ewuh pakewuh yang pada dasarnya tak ada patut. Karena, hukum dan keadilan berlaku sama. Seperti patung lambang hukum yang bagian matanya ditutup dengan kain hitam dan memikul timbangan yang ketinggiannya sama.***