Monday, October 20, 2008

Artis dan Bandit di Parlemen

Jakarta - detikCom

Parlemen akan dikuasai artis dan bandit bila kita nekat menerapkan sistem proporsional terbuka. Modal artis adalah popularitas, modal bandit adalah uang dan kekerasan.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan Kamis (16/10/2008) lalu, menunjukkan, dalam pemilu nanti rakyat Indonesia lebih suka memilih Eko Patrio, pelawak dan pembawa acara, daripada Ferry Mursidan Baldan, anggota DPR yang kecakapan politiknya tidak perlu diragukan lagi.

Mengapa caleg Golkar itu kalah dari caleg PAN? Jawabnya pasti: Ferry kalah populer dari Eko. Dan kita tahu, yang bikin Eko populer adalah televisi.

Sebagai anggota dewan yang mumpuni (misalnya berkali-kali menjadi ketua pansus), Ferry tentu sering muncul di televisi. Namun kemunculannya jelas tidak sesering Eko. Bahkan pelawak ini bisa muncul di dua stasiun televisi untuk dua acara berbeda dalam waktu bersamaan. Belum lagi penampilannya lewat iklan-iklan yang berjibun.
Dalam sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, seperti yang hendak kita terapkan dalam Pemilu 2009 (meski belum terbuka 100%), memungkinkan pemilih untuk memilih langsung nama calon. Oleh karena itu pemilih cenderung akan memilih orang yang dikenali. Di sinilah artis yang sering muncul di televisi mendapatkan keuntungan.
Tentu saja tidak ada salahnya artis menjadi anggota parlemen. Masalahnya adalah bagaimana kinerja mereka yang memasuki atau ganti profesi ini. Saya tidak hendak menjawab pertanyaan ini. Ada puluhan (mantan) artis yang sudah menjadi anggota DPR hasil Pemilu 2004 lalu. Periksa saja satu per satu kinerja politiknya!
Ada satu lagi profesi yang peluang terpilihnya untuk menjadi anggota dewan sangat besar dalam sistem pemilu proporsional terbuka, yakni bandit. Kebanditan tentu menciptakan reputasi tersendiri, sehingga partai enggan mencalonkannya.
Namun dengan uang dan kekerasan, sungguh sulit buat pemimpin partai untuk menghindari untuk tidak mencalonkannya. Apalagi jika pimpinan partai adalah bandit juga. Dengan uang dan kekerasan pula, para bandit bisa memaksa pemilih untuk mencontreng namanya dalam pemilu.
Rusia pernah mengalami situasi politik di mana parlemen (Duma) dikuasai oleh artis dan bandit.
Ini menimbulkan kesulitan politik yang luar biasa buat Presiden Yeltsin untuk membuat kebijakan. Beruntung, dalam konstitusi Rusia, Presiden bisa membubarkan parlemen. Bayangkan kalau hal itu terjadi di sini.

*Penulis adalah wartawan detikCom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja.