Monday, December 29, 2008

Rizal Ramli: Saatnya Ekonom Jadi Presiden

JAKARTA - OkeZone

Rizal Ramli tak ingin lagi menjadi penasehat presiden, melainkan menjadi presiden. Presiden yang juga seorang ekonom, dianggapnya sebagai salah satu nilai jual dirinya untuk maju, bersaing dengan calon lainnya.
"Saya nggak mau lagi jadi penasihat presiden. Kalau lucu-lucuan, jenderal, kiai, ibu rumah tangga, dan profesor sudah pernah menjadi presiden. Tapi kalau ekonom belum. Mungkin 2009," kelakar Rizal dalam acara diskusi di Kantor okezone, Gedung Bimantara lantai 4 Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (26/12/2008).
Besar atau kecilnya kemungkinan untuk maju sebagai calon presiden (capres), Rizal mengaku pasrah. Dia mengambil contoh, seperti yang terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pemilu 2004.
"Memang pertanyaannya apa mungkin? Kalau Allah mengizinkan ya mungkin. Itu jawaban umum. Itu bukan tidak mungkin. Desember 2003, SBY masih nol dan setelah itu naik, karena dizalimi Megawati," tuturnya.
Layaknya dalam bertarung dan berperang, tentunya Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI) ini menyiapkan peluru strategi. "Strateginya, lebih banyak mengalir saja. Di NU banyak yang anggap saya orang dalam karena Gus Dur. Itu modal yang luar biasa," tuturnya.
Yang jelas, menurut Rizal, saat ini yang diperlukan yaitu adanya nasionalisme baru. "Nasionalisme yang memerdekakan 80 persen rakyat Indonesia, yang belum merasakan kemerdekaan," tandasnya.
Berikutnya yaitu nasionalisme untuk bikin Indonesia jadi negara berdaulat. Ekonomi neo liberal, lanjutnya, tidak mungkin membuat Indonesia mandiri.
Rizal membagi rakyat Indonesia menjadi dua golongan yakni 20 persen paling atas yang sudah merdeka dan 80 persen yang di bawah belum menikmati kemerdekaan.***

Wednesday, December 24, 2008

FPDIP DPR Tak Setuju Anggota Tukang Bolos Diumumkan

Jakarta - DetikNews

Diumumkannya nama-nama anggota DPR yang kerap bolos dalam setahun terakhir dinilai dapat memberi sanksi sosial yang menjerakan. Namun FPDIP tidak setuju terhadap hal tersebut.

"Anggota DPR itu bukan pegawai DPR. Dia punya konstituen (di daerah), dia wakil rakyat. Memang iya kita punya tugas di DPR dalam pengambilan keputusan-keputusan. Tapi kita juga petugas partai yang ada di DPR," ujar Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (18/12/2008).

Menurutnya, sepanjang tidak hadirnya anggota karena hal beralasan, itu tidak menjadi masalah. "Apakah dia sakit, apakah ada penugasan DPR, dan penugasan partai," cetusnya.

Tjahjo menilai perlu adanya penyempuranaan Tata Tertib (Tatib) anggota yang mengatur kewajiban hadir dalam sidang-sidang di DPR dan tugas mengunjungi konstituen di daerah oleh partai.

"Menjadi anggota DPR karena partai. Tatib tidak mungkin bisa sempurna, UU aja ada yang masuk ke MK segala. Yang penting ada political will semua pihak," papar Tjahjo.

Lebih lanjut Tjaho pun meminta perubahan mekanisme proses pengambilan keputusan dalam paripurna. Menurutnya, anggota Dewan tidak perlu hadir jika pembahasan di tingkat Komisi sudah terjadi kesepakatan.

"Cukuplah diputuskan. Hadirnya kalau ada angket atau voting aja. Kalau sudah selesai di Komisi tidak perlu hadir," usulnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Syarief Hasan menilai Tatib anggota dewan yang mengatur kewajiban hadir dalam rapat dan mengunjungi konstituen di daerah sudahlah cukup. Fraksinya pun mendukung diumumkannya anggota yang sering bolos saat sidang di akhir tahun ini.

"Kita mendukung. Pengaturan di tatib sudah cukup, bagaimana pelaksanaanya saja. Tidak ada benturan antara tugas mengunjungi konstituen dan kewajiban hadir di sini," pungkasnya.***

Saturday, December 13, 2008

Menebak Apa di Balik Kerudung Mega?

Jakarta - detikNews.com


Menjelang Pemilu 2009 PDIP meluncurkan sebuah buku yang berbicara tentang ketua umum sekaligus capresnya Megawati Soekarnoputri. Tidak tanggung-tanggung 38 tokoh mulai dari politisi, pengamat politik, akademisi dan budayawan diminta mengisi halaman demi halaman buku berjudul 'Mereka Bicara Mega'.

Ada sesuatu yang menarik dari buku bertebal 245 halaman ini. Yakni hampir semua tokoh di dalamnya berbicara tentang kemuslimahan Mega dan keislaman PDIP secara umum. Mereka seakan berlomba-lomba menjawab keraguan sebagian kalangan yang masih punya anggapan miring tentang posisi keislaman Mega dan partainya . Maklum, 'partai merah' yang memperjuangkan kaum marhaen ini sering diidentikan dengan partai yang beraliran kiri.

Jadilah sebuah buku, dengan cover berwarna merah yang memampangkan poto Megawati lengkap dengan kerudungnya. Kerudung yang juga sewarna dengan pakaian Mega. Serba Merah.

Membaca halaman demi halaman buku tersebut terasa seperti mendapat penegasan berulang-ulang bahwa tidak ada yang salah dengan kemuslimahan Mega, juga partainya.

Ketua Umum PP Muhamadiyah Din Syamsudin berbicara tentang berbagai black campaign yang dialami PDIP terhadap kemuslimahan ketua umumnya tersebut menjelang Pemilu 2004 yang lalu. Din yang menulis dalam kata pengantar mengungkapkan keberatannya terhadap selebaran gelap, pamflet, tabloid, maupun ceramah-ceramah menjelang pemilu 2004 yang meragukan kemuslimahan Mega.

"Buku ini tentu dapat membantu meningkatkan pemahaman publik tentang sosok Ibu Megawati sebagai seorang pemimpin bangsa dalam berbagai aspeknya, termasuk sebagai seorang muslimah," tulis Din dalam buku yang diluncurkan di Hotel Sultan, Jumat (11/12/2008).

Guru besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang juga menjadi anggota Dewan Pembina Baitul Muslimin (organisasi sayap PDIP), Syafii Maarif, pun ikut berkomentar tentang Mega yang merupakan keturunan keluarga Muhammadiyah.

"Menurut saya, seperti yang disebutkan suaminya Taufiq Kiemas, secara genealogis Mega itu generasi ketiga dari lingkungan keluarga Muhammadiyah, keturunan Hasan Din. Tentu latar belakangnya dapat membantu kita mematut-matut kemuslimahan seorang Mega. Hanya, barangkali selama ini mungkin lingkungan pergaulannya saja yang memang tidak kental suasana keislamannya. Jadi bisa saja orang menilai sebelah mata," kata Syafii pada halaman 5.

Namun pandangan sejumlah tokoh tentang kemuslimahan Mega tampaknya tidak semestinya ditelan bulat-bulat. Sebab, tidak ada penjelasan rinci di setiap artikel bahwa para tokoh tersebut menulis sendiri tulisannya atau hanya sekedar diwawancara (baca: dituliskan).

Zainun Ahmadi dan Rahadi Zakaria selaku editor hanya menjelaskan secara umum di halaman vii, bahwa para tokoh ada yang menulis sendiri pandangannya dan ada yang hanya sekedar diwawancara.

Pengamat politik Anies Baswedan yang dihubungi detikcom pun mengaku tidak menulis artikel yang berjudul 'Tokoh Panutan' pada halaman 105 . Padahal, di bawah judul tersebut tertulis Anies R Baswedan, meski tidak ada kata 'oleh' sebelum namanya.

"Itu bukan tulisan saya, saya hanya didatangi untuk diwawancara. Saya kira hampir semuanya juga begitu," ujar Rektor Universitas Paramadhina itu yang mengaku heran tidak ada penjelasan 'wawancara' pada artikel atas namanya tersebut.

Anies mengaku hanya diwawancara terkait kemuslimahan Mega, dan tidak tahu menahu bahwa itu akan dijadikan awalan dalam artikel tersebut.

Lepas dari masalah menulis sendiri atau hanya sekadar diwawancara, Mantan Ketua MPR Amien Rais lewat artikel 'Mumpung Masih Ada Waktu' (hal 17), justru berbicara blak-blakan tentang kiat pragmatis lewat kemuslimahan Mega.

"Dari segi penampilan fisik, jika saja Mbak Mega meu mengenakan busana muslimah, saya jamin akan banyak dampak politiknya. Katakanlah bisa membantu meningkatkan peraihan suara dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden 2009," ujar Amien.

Namun, Amien juga mengingatkan bahwa hal-hal yang sifatnya simbolik tidak akan menggeser hal-hal yang substansial. Dengan kata lain, apa di balik kerudung Mega tetap menjadi hal terpenting bagi banteng yang siap berlaga di 2009 ini.

Friday, December 5, 2008

'Tiga Serangkai' di Pidato Soekarno dan Buku Tim Weiner

Jakarta - detikNews

Membaca naskah pidato Soekarno yang bertajuk Djangan Sekali-kali Tinggalkan Sedjarah alias Djas Merah, ingatan akan mengarah ke buku Tom Weiner yang bikin geger: Membongkar Kegagalan CIA. Buku itu menyebut Adam Malik agen CIA.
Ada satu kesamaan di dua naskah itu, yaitu penyebutan trio Soeharto, Sultan HB IX dan Adam Malik.
"CIA berusaha mengkonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Suharto," tulis Tim Weiner.
Dalam pidato terakhir Soekarno sebagai presiden di acara HUT RI pada 17 Agustus 1966, Soekarno juga mengungkit-ungkit nama 3 orang dimaksud. Pidato itu sendiri untuk menegaskan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) bukanlah penyerahan kekuasaan.
"Dikiranja SP 11 Maret itu suatu 'transfer of authority', padahal SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan," demikian teks pidato Djas Merah.
Pernyataan Soekarno di atas merupakan hasil evaluasi terhadap langkah-langkah yang dilakukan Soeharto usai menerima Supersemar. Bahkan Soekarno sempat melontarkan pernyataan adanya upaya 'coup' atau kudeta atas dirinya.
"Apalagi kataku tadi, dalam tahun 1966 ini! Tahun 1966 ini, kata mereka.., eindelijk (lama-lama), at long last, Presiden Soekarno telah didjambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Soekarno telah di-coup; Presiden Soekarno telah dipreteli segala kekuatannya; Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu 'triumvirat' jang terdiri dari Djenderal Suharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik," kata Soekarno.
"Seorang pemimpin berkata, one cannot escape history. Saja pun berkata seperti itu, tapi saja tambahkan. Never leave history, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah," kata Soekarno.***

Monday, December 1, 2008

Supersemar Beredar di Internet

Pemerintah Harus Lebih Proaktif Temukan yang Asli

Jakarta - detikNews.com

Satu lagi versi naskah Supersemar muncul, kali ini beredar di internet. Namun banyak pihak menilai naskah tersebut bukanlah naskah asli. Untuk meluruskan kesimpangsiuran itu, pemerintah harus lebih gencar menemukan naskah asli Supersemar.

"Pemerintah harusnya lebih proaktif mendapatkan yang asli," ujar anggota Komisi II (bidang pemerintahan) DPR Andi Yuliani Paris pada detikcom, Senin (1/12/2008) pukul 06.45 WIB.

Sebelumnya, sejarahwan UI Anhar Gonggong menuturkan, mantan presiden Soeharto adalah orang yang paling mengetahui keberadaan naskah asli.

Dan jika memang keluarga Soeharto menguasai naskah asli Supersemar itu, sebaiknya keluarga Soeharto menyerahkan kepada pemerintah. "Karena Pak Harto sudah meninggal, kalau ada keluarganya, ya saya berharap diserahkan," kata Andi Yuliani.

Menurut Andi Yuliani, naskah Supersemar yang beredar di internet tersebut sulit dibuktikan keasliannya. Hal ini karena naskah aslinya sendiri belum ketemu.

"Sepanjang belum dibuktikan aslinya kita tidak bisa bisa bilang itu asli atau tidak," tambahnya.
Andi juga menggugah kesadaran pihak yang menyimpan naskah tersebut agar menyerahkan naskah tersebut pada negara. "Jangan sampai generasi kita jadi kehilangan sejarah karena hal ini," pungkasnya.

Naskah Supersemar yang beredar di internet diketik di atas kertas berkop Presiden Republik Indonesia disertai logo padi dan kapas di atasnya dan logo burung Garuda di sisi kiri atas.

Di akhir naskah ada tanda tangan Presiden Indonesia Soekarno pada 11 Maret 1966. Terdapat empat diktum dalam naskah tersebut. Diktum pertama berisi 'Mengingat'. Kedua, Menimbang. Ketiga Memutuskan dan Memerintahkan'. Keempat bertulis selesai. Naskah ditulis dalam ejaan lama. Namun nama Soeharto dan Soekarno ditulis dengan ejaan Sukarno dan Suharto.***