Tuesday, September 30, 2008

RUU Pilpres ::: Denda Rp100 Miliar tidak Rasional

JAKARTA--Media Indonesia:

Ketentuan dalam RUU Pilpres tentang denda mencapai Rp100 miliar bagi capres yang sengaja mengundurkan diri setelah resmi menjadi capres, dinilai tidak rasional dan mengada-ada.

''Ketentuan seperti itu tidak rasional, tidak masuk akal, dan terlalu mengada-ada,'' kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS Ka'ban di Jakarta, Sabtu (27/9).

Menurut Ka'ban, ketentuan tesebut tidak logis dan tidak mungkin dilaksanakan. ''Kenapa harus mutlak seperti itu? Kalau capres mau mundur ya mundur saja, tak perlu didenda segala,'' tegasnya.

Ia mengusulkan agar ketentuan tentang denda tersebut dihapus saja. "Aturan itu tak rasional dan tak ada gunanya, hapus saja,'' paparnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufiq Kiemas menyatakan ketentuan denda itu penting agar tidak ada yang menjadi capres asal-asalan.

''Kalau jadi capres harus serius, jangan main-main. Kalau main-main harus didenda,'' kata suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Soal kewajaran denda yang mencapai Rp100 miliar, Taufik menyatakan soal jumlah denda itu relatif, tetapi perlu ada sanksi bagi orang yang menjadi capres hanya untuk main-main.

''Capres itu pan (kan) calon pemimpin untuk seluruh rakyat Indonesia, makas main-main. Orang yang main-main harus dikenakan sanksi,'' tegasnya.***<>

Monday, September 29, 2008

Undang² Pornografi Bukan Undang² untuk Manusia Bumi

Jakarta, detikPORTAL.com

Pornografi akan dikekang. Pengekangannya melalui Undang-Undang (UU). Padahal tiap individu kecenderungan menyimpan bahkan melakukan itu. Akibatnya, pro-kontra marak. Ada rasa was-was mengintip. Dan ada banyak yang ketakutan. Takut terjerat UU yang punya kans mengulang 'kegagalan' UU Perkawinan yang dipaksa dilahirkan itu.

UU yang satu ini memang ruwet dan membingungkan. Keruwetannya terletak pada realitas, kita terlalu banyak menyimpan situs yang memampang 'produk porno'. Di Candi Ceto dan Candi Sukuh di Jawa Tengah, phallus dan yoni dipampang secara vulgar. Malah di Jakarta, meriam Ki Jagur juga meretas gambar yang sama. Itu tak hanya di tempat yang disebut, tapi juga tersebar di banyak tempat di negeri ini.

Kita juga punya banyak 'tradisi' yang 'menghalalkan' tindakan pornografi. Hubungan intim non-muhrim di Kemukus, Sragen, tradisi sifon 'Sex Education versi Timor', juga onani dan masturbasi 'gaya Suku Tugutil' di Halmahera, serta tradisi kawin massal di Irian adalah percikan kecil yang menjadi mosaik 'adegan porno' tinggalan lama yang masih lestari.

Malah jika situs serta 'tradisi' itu diteruskan pada tradisi lisan, maka dongeng Sangkuriang yang mengawini ibunya, serta Toar yang mensetubuhi Lumimuut sang ibu, rasanya akan bernasib tragis. Dongeng itu hilang dari peredaran, karena dianggap sebagai 'ajaran porno' yang layak dipenjara bagi siapa saja yang menulis atau menuturkannya.

Juga ajaran kaweruh (pengetahuan) tentang hakekat hidup, sangkan paraning dumadi (asal-usul hidup) yang menyebut manusia hasil persetubuhan laki-laki dan perempuan bisa jadi juga akan bernasib sama jika itu dituturkan. Ajaran yang sarat dengan nilai filosofi ini tidak bisa menghindari itu, karena memang manusia lahir itu melalui proses persetubuhan.

Dan UU ini jadi membingungkan ketika dikaitkan dengan pariwisata yang jadi andalan untuk dijual. Jika di Kuta dan Sanur atau Medewi para turis masih telanjang dada dan pakai celana dalam, di pantai Manggarai, Flores justru semuanya toples. Malah kalau mau jalan-jalan ke Pulau Sumba, gadis-gadis desa juga masih banyak yang telanjang dada. Adakah mereka porno dan layak dipenjara?

Saya masih ingat ketika bertandang ke Ambeno, sebuah daerah kabupaten yang sekarang masuk Negara Timor Leste. Di Kota Pante Makasar itu terdapat dua patung anak kecil menghias air mancur taman kota. Anak itu sedang kencing dengan penis dipahat realis.

Saat daerah ini 'masuk Indonesia', patung itu di-upgrade. Bukan warna kusam patung serta kolamnya yang dipugar, tapi hanya alat vital patung ini yang didandani. Patung anak itu 'disunat'. Penisnya dihilangkan. Upacara 'sunat' itu disaksikan penduduk setempat yang saling bertanya, mengapa patung 'yang sudah bagus' itu harus dirusak?

Dan di era teknologi yang kian menjadi kebutuhan sekarang ini, gambar telanjang serta adegan cabul bukan lagi persoalan sulit mengaksesnya. Siapa saja bisa membuka, dan pestapora dengan adegan cabul. Sayangnya, pemerintah juga tak mampu menangkal masuknya informasi 'mbahnya porno' itu.

Kalau sudah begitu kenyataannya, maka UU Pornografi yang 'konon' akan diundangkan Oktober mendatang itu rasanya bukan UU untuk manusia di bumi karena tidak 'membumi'. Ini adalah 'UU Langit' yang hampir tiap agama telah menyuratkannya.

Tolong kalau mau memperbaiki negeri, jangan melahirkan UU yang semakin meruwetkan negara yang sudah ruwet ini.***

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Jalan Berliku Sutanto Menuju Tahta Presiden

ISU pergeseran di pucuk pimpinan Polri, ternyata tidak membuat Jenderal Sutanto memilih pensiun dari kekuasaan dan menikmati masa pensiunnya. Dikabarkan, setelah dirinya pensiun pada akhir September ini, Sutanto berkeinginan kuat mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres).

Namun hingga kini, belum terlihat jelas, jalur mana yang akan dipilih oleh Sutanto. Jalur partai atau jalur independen. Dari jalur partai, baru Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berani menyebutkan, Sutanto merupakan salah satu kandidat capres dari partainya. Namun ternyata, Sutanto bukan kandidat satu-satunya. Kandidat capres lainnya dari PKS, salah satunya mantan anak buahnya di kepolisian. Yakni Adang Daradjatun.

Untuk sosok yang satu ini, sejak Pilkada DKI Jakarta tahun lalu, sudah sangat dekat dengan PKS. Selain menjadi salah satu kandidat capres, Adang juga dicalonkan sebagai calon legislatif (caleg).

Kembali ke Sutanto. Nampaknya perjuangannya sebagai capres dari PKS bisa dikatakan cukup berat. Untuk partai lainnya, hingga saat ini, belum ada partai di luar PKS yang bersuara untuk menampung keinginan Sutanto menjadi capres.

Sulitnya jalan melalui partai, tidak membuat peluang bagi mantan Kapolri ini tertutup. Sutanto malah dianjurkan tidak menggunakan jalur partai, namun jalur independen. Menurut salah seorang pengamat, Fadjroel Rachman, jalur independen lebih terbuka buatnya daripada jalur partai. Lagi pula, jalur independen biayanya lebih murah daripada jalur partai.

Dari anjuran pengamat yang juga sudah mendeklarasikan diri sebagai capres dari jalur independen, secara tidak langsung mengatakan, bersaing menjadi capres melalui jalur partai lebih banyak menghabiskan uang dan terlalu panjang jalannya.

Sudah menghabiskan uang, belum lagi tarik menarik kontrak politik dengan pihak partai. Setelah resmi sebagai kandidat, masih akan bersaing dengan capres-capres dari partai lain.

Lalu bagaimana dengan rakyat, apakah akan memilih? Ya tidak tahu. Tergantung bagaimana citranya di masyarakat. Rekam jejak prestasinya di Kepolisian, bukan jaminan memuluskan langkahnya. Belum lagi reformasi di kepolisian yang belum tuntas...tas, dilakukan olehnya.

Lagipula kalangan masyarakat bawah selama ini menilai, reformasi di tubuh kepolisian, tidak kelihatan. Satu permasalahan kecil, masih saja ada razia lalu lintas aparat kepolisian di tanggal-tanggal muda, dengan alasan menjaring para penjahat. Masih saja banyak aparat kepolisian yang bertingkah atau bertindak sewenang-wenang. Semuanya masih ada saat Sutanto menjabat sebagai orang nomor satu di institusi kepolisian.

Masih banyak jalan yang berliku bagi Sutanto menuju singgasana RI-1. Sekarang tinggal tunggu saja gebrakan Sutanto mendeklarasikan diri kesiapannya ke kursi RI-1.*****[gospol]

Sunday, September 28, 2008

Hari Kesaktian Pancasila Sebaiknya Dihapus

Jakarta, detikCom

Karena bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri, upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini rencananya akan diselenggarkan pada 1 Oktober dini hari. Hal ini dianggap merepotkan. Hari Kesaktian Pancasila diusulkan untuk ditiadakan.

"Lebih baik ditiadakan saja karena bermasalah," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada detikcom, Minggu (28/9/2008).

Menurut Asvi, Hari Kesaktian Pancasila tidak memiliki landasan yang kuat. Peringatan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila bermasalah dari sisi hukum maupun substansi.

Dari sisi hukum, aturan tentang peringatan hari tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) yang menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati Angkatan Darat.

Setelah ada usul dari Menteri/Angkatan Kepolisian, akhirnya dikeluarkan Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966) tertanggal 29 September 1966 yang memerintahkan agar hari itu diperingati oleh 'seluruh slagorde Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan massa rakyat'.

"Jadi sesungguhnya tidak ada keharusan bagi para pejabat tinggi negara, baik itu presiden, wakil presiden, menteri, maupun anggota DPR untuk menghadiri acara tersebut," terang Asvi.

Namun di era Orde Baru, upacara tersebut selalu diperingati secara menyeluruh karena surat keputusan menteri itu ditandatangani oleh Soeharto.

"Masalahnya dulu kan yang mengeluarkan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto, jadi keterusan," lanjutnya.

Pascareformasi, upacara tetap dilangsungkan karena tidak banyak orang yang tahu tentang landasan hukumnya sehingga mengira wajib dilaksanakan.

Dari sisi substansi, Hari Kesaktian Pancasila juga bermasalah. "Arti kesaktian itu sendiri tidak jelas. Kita memang perlu Pancasila. Tapi apakah Pancasila itu sakti atau tidak kita tidak tahu," ujar Asvi.

Karena itu, Asvi menawarkan dua opsi. Pertama, bila aspek yang ingin ditonjolkan adalah mengenang ketujuh korban, maka peringatannya sebaiknya digabung dengan Hari Pahlawan 10 November. Alasannya, ketujuh korban dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1966 dan sudah diangkat sebagai pahlawan nasional.

"Oleh sebab itu selayaknya mereka dikenang bersamaan dengan pejuang lainnya pada peringatan Hari Pahlawan," kata Asvi.

Jika yang ingin ditonjolkan adalah Pancasila-nya, maka tawaran kedua Asvi adalah menggabungkannya dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni.

Saturday, September 27, 2008

Golkar, Si Macan Ompong!

Jakarta, detikCom

Partai Golkar terus gonjang-ganjing. Di tengah berkibaran partai baru, beringin yang perkasa di era Orba itu tak kunjung berbenah. Malah terkesan partai ini tidak peduli dengan kondisi internalnya. Golkar masih merasa berjaya mendekati pemilu yang kian dekat. Jangan kaget jika ini detik-detik penungguan beralihnya keganasan macan Golkar menjadi macan ompong. Partai ini bakal kehilangan taring kekuasannya.

Jargon politik, macan identik kekuasaan. Siapa yang berkuasa, dia dipersamakan dengan menunggang macan. Siapa saja takut dan segan. Siapa saja berpikir berulang kali jika bersikap dan bertindak. Itu bukan karena penunggangnya, tetapi berkat 'kekuasaan' yang sedang dikangkangi.

Dalam idiom Jawa dikenal istilah 'geger ngoyak macan'. Ribut memburu macan. Ini sebuah gambaran ramainya orang berebut kekuasaan. Mendekati pemilu tahun depan, geger macam itu semakin mengental. Pemimpin partai ramai promosi dan mengumbar janji. Bendera dan umbul-umbul dipasang memenuhi jalanan. Berharap agar 'macan' yang diburu bisa dijadikan tunggangan.

Padahal penunggang macan adalah manusia yang terancam. Dia sasaran buruan. Salah dan alpa jadi bumerang. Apalagi kalau ada kesempatan, para rival tidak segan-segan mementung atau 'menusuk' dari belakang. Tak mengejutkan jika Machiavelli memberi arahan, seorang penguasa yang ingin terus berkuasa harus licik dan berbudi, barbar tapi manusiawi, dan yang tidak kalah penting, kikir tetapi dermawan. Bagaimana itu bisa dipraktekkan? Tentu, perlu 'kreatifitas tinggi'. Istilah Lord Acton, kekuasaan cenderung korup. Hampir tidak ada penguasa tidak pernah bersalah dalam menjalankan roda kekuasaannya.

Lain lagi ujaran Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887) soal kekuasaan. Dengan kalimat puitis, pengarang Max Havelaar itu memberi sketsa, bahwa kekuasaan itu ibarat anak yang bertanya pada ayahnya, mengapa matahari tidak jatuh. Sang bapak yang tidak bisa menjawab malu berterus terang, dan menghukum anaknya yang kritis itu. Akibatnya, sejak itu sang anak tidak berani bertanya lagi. Sang anak itu juga tidak pernah jadi dewasa hingga akhir hayatnya, serta tetap dungu dan bodoh.

Mempertahankan kekuasaan macam itu, kendati tidak seutuh gambaran pakar politik dari Florence itu, kini terasakan di tubuh Partai Golkar. Partai yang pernah dikenal sebagai partai modern karena demokratisasi dalam mekanisme pilihan (konvensi) itu sekarang terhapus sudah. Dan Fadel Muhammad salahcsatu tokoh yang diprediksi bakal naik daun tahun mendatang menjadi korban. Namanya dicoret dalam pencalegan.

Korban kedua adalah Yuddy Chrisnandi. Tokoh muda Golkar yang vokal ini harus menerima nasib ditegur dan dikenai sanksi manakala melontarkan kritik. Banyaknya 'tawaran' dari partai lain serta kesadaran agar tidak menjadi 'anak dungu dan bodoh seumur-umur' membuatnya mundur teratur. Dia kemudian bergabung dengan Fadel Muhammad. Merealisasi gagasan melakukan 'kritik keroyokan' yang dikemas dalam 'temu budaya'.

Kritik ini diharap mampu mengubah sikap Jusuf Kalla (JK), Ketua Umum Partai Golkar yang selama ini dinilai 'arogan' dan tidak demokratis. Partai 'dipersamakan' perusahaan dengan saham tunggal, hingga segala keputusan yang 'mengancam' posisinya sebagai 'pemegang saham' cepat ditangkal melalui keputusan yang kaku dengan tangan besi.

Tapi naga-naganya pertemuan itu tidak hanya menghasilkan rekomendasi, ‘memaksa’ sikap DPP Golkar berubah. Bisa saja dari 'pertemuan Gorontalo' itu bergulir bola salju berarus kencang dan berpotensi menggusur JK lengser secara paksa. Bentuknya mungkin melalui skenario Munaslub, yang konotasinya sama dengan kudeta tak berdarah.

Indikasi soal itu kian terang, mengingat selain 'kelompok' dua tokoh penggalang 'temu budaya' itu yang datang, juga diundang puluhan pengurus DPD Golkar yang merasakan pudarnya pamor partai beringin dalam polesan tangan JK. Serta tentu, beberapa tokoh Golkar lain yang selama ini berseberangan dengan Sang Ketum.

Namun bagaimana pun hasil 'pertemuan Gorontalo' itu tidak akan mampu menyelamatkan partai ini dari keterpurukannya. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009 rasa-rasanya bakal menjadi pemilu kelabu bagi Partai Golkar. Sebab konflik internal yang berkepanjangan merusak konstituen. Apalagi pilar-pilar partai ini telah berserakan kemana-mana. Mereka membentuk partai baru dengan membawa setumpuk kader Golkar yang sudah kehilangan militansi.

Jika itu terjadi, berbahagialah Partai Hanura pimpinan Wiranto, Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, serta partai lain yang akan menerima bola liar, eksodus besar-besaran akibat 'geger ngoyak macan' di dalam tubuh Golkar. Memang, partai ini sekarang bukan sedang 'ngoyak macan', tapi lagi geger 'dioyak-oyak'.

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Gus Dur: "FPI BUBARKAN SAJA!"

JAKARTA - okeZone.com

Keributan antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa hari lalu, membuat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur angkat bicara.

"Bentrokan FPI, saya belum mempelajari. Mestinya dibubarkan saja. Kalau di belakang ini, ada Wiranto, Nugroho Jayusman dan sebagainya yang mendirikan," kata Gus Dur dalam acara Nuzulul Quran di DPP PNI Marhaenisme, Jalan Gudang Peluru Raya, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2008).

Begitupun dengan Front Betawi Rempug (FBR), menurut mantan Presiden RI ini juga didirikan oleh perwira militer.

Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini kemudian pergi dengan Nissan Elgrand B 634 QR, meninggalkan acara yang juga dihadiri oleh putri mantan Presiden pertama Indonesia, Sukmawati Soekarnoputri.

Friday, September 26, 2008

Massa FPI Perang Batu dengan Massa AKKBB

Jakarta, detikCom

Persidangan Habib Rizieq di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat diwarnai kericuhan. Massa FPI bentrok dengan massa AKKBB di luar Gedung PN Jakarta Pusat.

Batu-batu berterbangan di Jl Gadjah Mada saat kedua massa berbeda aliran itu bentrok. Tawuran itu berlangsung sekitar 10-15 menit karena jumlah massa yang terlibat relatif seimbang, sebanyak 30 orang.

Pantauan detikcom, Kamis (25/9/2008), sekitar pukul 12.46 WIB massa AKKBB yang berpakaian hitam-hitam mulai terdesak. "Allah Akbar, ayo maju," teriak anggota FPI.

Terdesak sedemikian rupa, massa AKKBB kocar-kacir. Salah seorang anggota AKKBB yang bernasib naas lalu dipukuli dengan tangan kosong dan bongkahan konblok sampai kepalanya berlumuran darah.

Polisi yang ada di lokasi tidak dapat berbuat apa-apa karena jumlahnya hanya 10 orang. Mereka hanya bisa melarang massa agar tidak terprovokasi.

Akibat kejadian ini tidak sedikit kaca mobil yang terparkir maupun melintas di depan PN Jakarta Pusat menjadi korban. Arus lalu lintas juga terhambat karena kejadian ini karena banyak kendaraan yang memilih untuk memutar balik.