Thursday, February 12, 2009

Menunggu Satrio Wirang

oleh: Djoko Suud Sukahar
Jakarta - detikCom

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar jumpa pers, menyalahkan kadernya, Ahmad Mubarok. Dia menilai Wakil Ketua DPP Partai Demokrat itu 'menyakiti' Golkar. Mengapa SBY kebakaran jenggot, terkesan 'takut' dengan sesuatu yang bertalian dengan 'sakit' dan 'menyakiti'? Benarkah itu terkait keyakinan munculnya Satrio Piningit yang bakal menjadi Satrio Pinilih? Bagaimana pula dengan Satrio Wirang yang tumbuh bak jamur di musim hujan?

Ini memang 'negeri sakit', yang dihuni oleh 'orang-orang sakit'. Dengan gampang para calon pemimpin melakukan peniruan instan, menerapkan 'politik telenovela'. Sebuah strategi politik tidak bermutu, yang bertele-tele, tidak cerdas, dan tidak mendidik.

Segala perilaku 'politisi telenovela' itu diarahkan untuk memancing rakyat yang sedang gundah supaya berurai air mata. Dan bermunculanlah politisi-politisi busuk yang cengeng, memformat dirinya sebagai manusia rendah yang direndahkan, untuk memohon belas kasihan rakyat agar memilihnya.

Trend macam ini merupakan bentuk 'peniruan bodoh' terhadap prosesi 'Satrio Piningit' sebelum hadir menjadi Satrio Pinilih. Disebut pandir, karena langkah itu seperti 'mentuhankan akal' dan 'mentakdirkan' rekayasa. Jangan kaget jika tak lama lagi bakal muncul seabreg Satrio Wirang, tokoh-tokoh memalukan sekaligus malu-maluin, konsekuensi logis dari 'pentuhanan akal' dan 'takdir buatan' itu.

Memang, dalam pandangan Jawa, seorang pemimpin itu tidak muncul tiba-tiba. Sosok macam itu kehadirannya via proses panjang. Melewati penggodokan yang bersifat metafisis, dan tampil mengejutkan di saat-saat krusial. Itu karena sang tokoh ini diyakini sebagai 'figur yang disembunyikan', seperti sebutannya sebagai Satrio Piningit.

Calon pemimpin macam ini biasanya mempunyai ciri khusus. Secara umum dia diidentifikasi sebagai orang yang 'teraniaya', mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh rezim yang memerintah. Untuk itu, figur seperti ini rata-rata lepas dari amatan pengamat politik, dia tidak diprediksi bakal tampil sebagai pemimpin.

Berdasar 'ilmu titen' (ilmu melihat dan mengamati), Satrio Piningit datang dari manusia yang dibelenggu kebebasannya. Untuk itu dia disebut sebagai 'Satrio Kinanjoro' (dipenjara). Selain itu, dia juga berasal dari manusia yang 'dikuyo-kuyo' (dinista atau dizalimi).

Dalam perjalanan negeri ini, setidaknya terdapat tiga presiden yang kemunculannya dianggap klop dengan 'kepercayaan' di atas. Pertama adalah Bung Karno, presiden pertama yang sebelumnya keluar masuk penjara. Kedua Megawati yang 'dikuyo-kuyo' di masa Orde Baru. Dan ketiga SBY yang dianggap 'dinista' Mega dan Taufiq Kiemas.

Sedang Soeharto, Habibie dan Gus Dur tidak digolongkan sebagai Satrio Piningit, karena ketiganya saat tampil sebagai pemimpin dianggap 'tanpa melibatkan' rakyat. Itu karena hakekatnya, Satrio Piningit itu dalam fatsun politik adalah 'vox populi vox dei' (suara rakyat adalah suara Tuhan). 'Langsung' didaulat rakyat.

'Efek kasihan dan dikasihani' ini yang sekarang dipakai banyak partai dan politisi sebagai 'jalan tol'. Semuanya sedang menyusun skenario untuk menjadikan dirinya atau partainya masuk sebagai 'orang teraniaya' dan 'partai yang dizalimi'. Harapannya, tentu, rakyat iba dan memenangkan partai atau politisi bersangkutan. Benarkah langkah itu akan 'memancing' munculnya Satrio Piningit?

Rasanya itu tidak akan terjadi. Itu karena Satrio Piningit tidak bisa direkayasa, juga faktor penyebab 'kehadirannya'. Dalam konteks ini, Partai Golkar kemarin sebenarnya 'disetting' untuk itu. Tapi hasilnya jadi kontra produktif. Malah SBY 'memanfaatkan' 'pelintiran' ucapan Mubarok itu untuk 'memamerkan' sikap ksatria dan kebesaran jiwanya terhadap lawan-lawan politiknya.

Untuk itu, jika beberapa partai atau politisi lain melakukan langkah sama dalam 'mengail' popularitas, maka bukan Satrio Piningit yang mampir, tapi justru Satrio Wirang. Partainya jadi 'partai yang memalukan' dan 'politisinya' jadi 'politisi yang malu-maluin'.***