Monday, June 1, 2009

Pecat Rizal, SBY Diprediksi Hancur

Minggu, 31/05/09
INILAH.COM, Jakarta –

SBY dikabarkan gerah mendapati sikap Rizal Mallarangeng yang sangat kasar dalam menyerang lawan-lawan politik capres incumbent itu. Namun kubu Cikeas diprediksi bakal hancur bila berani mendepak Rizal. Pemecatan itu akan dijadikan indikasi bahwa taktik dan strategi SBY-Boediono selama ini keliru dan gagal.

Rizal menyatakan gerah dan kesal melihat SBY-Boediono dikritik soal Neoliberalisme. Lalu Rizal pun bersikap agresif dengan menyerang lawan politik SBY secara personal. Apakah dengan begitu berarti Rizal melanggar etika kampanye?

Langkah Rizal sudah tentu direstui oleh SBY-Boediono. Namun sikap Rizal yang awalnya mendapat pujian itu kemudian berbalik mengundang reaksi keras para aktivis gerakan anti-Neoliberalisme.

“Seharusnya, sejak awal SBY sudah melakukan upaya perlawanan terhadap isu-isu yang menyudutkan dirinya itu. Namun hal tersebut tidak dilakukan segera,” kata Nehemia Lawalata, seorang pemerhati politik.

Karenanya jika dilihat dari sisi politik, perlawanan ini sebenarnya sudah terlambat dilakukan. Sebab isu-isu lawan politik telah digulirkan jauh sebelum SBY-Boediono mendeklarasikan diri. “SBY seharusnya tidak boleh terlalu percaya diri bahwa dia akan terpilih kembali. Ia juga tidak perlu terlalu percaya terhadap citra yang dibangun lembaganya,” tambah Nehemia.

Para analis politik lainnya juga melihat isu-isu lawan SBY, seperti isu ekonomi kerakyatan versus Neolib, politik simbol, dan SARA, serta bencana massal, telah membuat SBY mengalami krisis kepercayaan diri. Kharisma capres incumbent itu pun diprediksi merosot tajam.

“Saya melihat SBY terlalu hati-hati dalam mengambil langkah-langkah politik. Orientasinya hanya pada popularitas untuk berkuasa lagi,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Abdul Gafur Sangaji.

Dalam hal ini, kerapnya jubir tim sukses SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng, melontarkan kritik kepada lawan politik SBY, jelas dimotivasi untuk memenangkan pertarungan pilpres. Dan itu menguntungkan SBY-Boediono yang berambisi besar untuk mempertahankan kekuasaan melalui pilpres kali ini.

Namun, sikap Rizal itu kabarnya membuat SBY gerah. Sebab, SBY menganggap dirinya selama ini berhasil memopulerkan komunikasi politik yang santun. Alhasil, Rizal dikabarkan didepak dari barisan tim sukses.

Namun pemecatan itu dinilai akan merugikan SBY sendiri. “Jika Rizal Mallarangeng didepak, posisi SBY-Boediono makin tersudut. Pemecatan itu akan diartikan sebagai pengakuan bahwa Rizal Mallarangeng salah dan itu berarti kubu SBY-Boediono juga salah,” kata Airlangga Pribadi, seorang pengamat politik dari Unair, Surabaya.

Awal pekan ini, Rizal memang telah menghebohkan jagad perpolitikan dengan melakukan serangan yang tajam pada salah satu cawapres, Prabowo Subianto. Rizal menyudutkan Prabowo terkait track record militer dan kepemilikan 98 ekor kuda berharga miliaran rupiah.

Karena ulahnya tersebut, kubu Demokrat disebut-sebut menjadi gerah. Sebab serangan Rizal dinilai bertolak belakang dengan citra politik SBY yang selama ini selalu mengedepankan politik santun. Partai Demokrat merasa telah dirugikan ulah Rizal.

Karena alasan tersebut, Rizal dikabarkan akan didepak dari Demokrat dan tidak dilibatkan lagi dalam penyusunan strategi pemenangan pilpres SBY-Boediono. Pertanyaannya, bagaimana SBY-Boediono bisa mendepak Rizal, sementara saudara kandung Jubir Kepresidenan itu adalah relawan loyal dan bukan politisi?

Al Chaidar, pengamat politik, menyatakan hal yang jauh lebih penting dari pemecatan adalah SBY-Boed justru kini tak usah berfokus para isu tersebut. SBY mestinya mengajukan program konkrit bagi rakyat agar bisa tampil memikat rakyat.

“Bukan malah meladeni isu yang berkaitan soal Rizal Mallarangeng, yang sudah melebar ke mana-mana dan membangkitkan luka dan dendam lama di kubu Mega,” katanya.

Para analis politik masih tak habis pikir atas sikap dan pernyataan SBY dalam acara silaturahmi dengan 3.000 pendukung, di mana SBY mengungkapkan ketidaksukaan terhadap anggota tim sukses yang menyerang pribadi kompetitornya itu.

Sebab itu justru mengesankan SBY bersikap mendua: Di satu sisi mendorong tim sukses dan relawannya proaktif meruntuhkan kubu Teuku Umar; dan di sisi lain seakan-akan menolak cara tim sukses dan relawannya dalam mengerjakan tugasnya untuk menghancurkan lawan politik SBY-Boediono sendiri.

Imbauan SBY agar tim kampanye tidak melakukan aksi-aksi yang menyerang pribadi lawan politik, bahkan dinilai sebagai kamuflase politik yang penuh kepalsuan.

Gara-gara praktik politik seperti itu, pilpres kali ini dinilai sebagai kompetisi yang tak sehat, tak ksatria, dan tak beretika. Pilpres menjadi perang terbuka antarcapres yang saling menghancurkan dengan menghalalkan segala cara dan tidak bermartabat.

Di atas kertas, SBY-Boediono sudah menang di Pilptres 2009. Tapi mengapa tim sukses dan relawannya makin keras menerjang? Sebuah pertanyaan yang tak boleh dijawab dengan pertanyaan, melainkan jawaban.***