Sunday, September 28, 2008

Hari Kesaktian Pancasila Sebaiknya Dihapus

Jakarta, detikCom

Karena bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri, upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini rencananya akan diselenggarkan pada 1 Oktober dini hari. Hal ini dianggap merepotkan. Hari Kesaktian Pancasila diusulkan untuk ditiadakan.

"Lebih baik ditiadakan saja karena bermasalah," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada detikcom, Minggu (28/9/2008).

Menurut Asvi, Hari Kesaktian Pancasila tidak memiliki landasan yang kuat. Peringatan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila bermasalah dari sisi hukum maupun substansi.

Dari sisi hukum, aturan tentang peringatan hari tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) yang menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati Angkatan Darat.

Setelah ada usul dari Menteri/Angkatan Kepolisian, akhirnya dikeluarkan Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966) tertanggal 29 September 1966 yang memerintahkan agar hari itu diperingati oleh 'seluruh slagorde Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan massa rakyat'.

"Jadi sesungguhnya tidak ada keharusan bagi para pejabat tinggi negara, baik itu presiden, wakil presiden, menteri, maupun anggota DPR untuk menghadiri acara tersebut," terang Asvi.

Namun di era Orde Baru, upacara tersebut selalu diperingati secara menyeluruh karena surat keputusan menteri itu ditandatangani oleh Soeharto.

"Masalahnya dulu kan yang mengeluarkan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto, jadi keterusan," lanjutnya.

Pascareformasi, upacara tetap dilangsungkan karena tidak banyak orang yang tahu tentang landasan hukumnya sehingga mengira wajib dilaksanakan.

Dari sisi substansi, Hari Kesaktian Pancasila juga bermasalah. "Arti kesaktian itu sendiri tidak jelas. Kita memang perlu Pancasila. Tapi apakah Pancasila itu sakti atau tidak kita tidak tahu," ujar Asvi.

Karena itu, Asvi menawarkan dua opsi. Pertama, bila aspek yang ingin ditonjolkan adalah mengenang ketujuh korban, maka peringatannya sebaiknya digabung dengan Hari Pahlawan 10 November. Alasannya, ketujuh korban dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1966 dan sudah diangkat sebagai pahlawan nasional.

"Oleh sebab itu selayaknya mereka dikenang bersamaan dengan pejuang lainnya pada peringatan Hari Pahlawan," kata Asvi.

Jika yang ingin ditonjolkan adalah Pancasila-nya, maka tawaran kedua Asvi adalah menggabungkannya dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni.