Saturday, September 27, 2008

Golkar, Si Macan Ompong!

Jakarta, detikCom

Partai Golkar terus gonjang-ganjing. Di tengah berkibaran partai baru, beringin yang perkasa di era Orba itu tak kunjung berbenah. Malah terkesan partai ini tidak peduli dengan kondisi internalnya. Golkar masih merasa berjaya mendekati pemilu yang kian dekat. Jangan kaget jika ini detik-detik penungguan beralihnya keganasan macan Golkar menjadi macan ompong. Partai ini bakal kehilangan taring kekuasannya.

Jargon politik, macan identik kekuasaan. Siapa yang berkuasa, dia dipersamakan dengan menunggang macan. Siapa saja takut dan segan. Siapa saja berpikir berulang kali jika bersikap dan bertindak. Itu bukan karena penunggangnya, tetapi berkat 'kekuasaan' yang sedang dikangkangi.

Dalam idiom Jawa dikenal istilah 'geger ngoyak macan'. Ribut memburu macan. Ini sebuah gambaran ramainya orang berebut kekuasaan. Mendekati pemilu tahun depan, geger macam itu semakin mengental. Pemimpin partai ramai promosi dan mengumbar janji. Bendera dan umbul-umbul dipasang memenuhi jalanan. Berharap agar 'macan' yang diburu bisa dijadikan tunggangan.

Padahal penunggang macan adalah manusia yang terancam. Dia sasaran buruan. Salah dan alpa jadi bumerang. Apalagi kalau ada kesempatan, para rival tidak segan-segan mementung atau 'menusuk' dari belakang. Tak mengejutkan jika Machiavelli memberi arahan, seorang penguasa yang ingin terus berkuasa harus licik dan berbudi, barbar tapi manusiawi, dan yang tidak kalah penting, kikir tetapi dermawan. Bagaimana itu bisa dipraktekkan? Tentu, perlu 'kreatifitas tinggi'. Istilah Lord Acton, kekuasaan cenderung korup. Hampir tidak ada penguasa tidak pernah bersalah dalam menjalankan roda kekuasaannya.

Lain lagi ujaran Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887) soal kekuasaan. Dengan kalimat puitis, pengarang Max Havelaar itu memberi sketsa, bahwa kekuasaan itu ibarat anak yang bertanya pada ayahnya, mengapa matahari tidak jatuh. Sang bapak yang tidak bisa menjawab malu berterus terang, dan menghukum anaknya yang kritis itu. Akibatnya, sejak itu sang anak tidak berani bertanya lagi. Sang anak itu juga tidak pernah jadi dewasa hingga akhir hayatnya, serta tetap dungu dan bodoh.

Mempertahankan kekuasaan macam itu, kendati tidak seutuh gambaran pakar politik dari Florence itu, kini terasakan di tubuh Partai Golkar. Partai yang pernah dikenal sebagai partai modern karena demokratisasi dalam mekanisme pilihan (konvensi) itu sekarang terhapus sudah. Dan Fadel Muhammad salahcsatu tokoh yang diprediksi bakal naik daun tahun mendatang menjadi korban. Namanya dicoret dalam pencalegan.

Korban kedua adalah Yuddy Chrisnandi. Tokoh muda Golkar yang vokal ini harus menerima nasib ditegur dan dikenai sanksi manakala melontarkan kritik. Banyaknya 'tawaran' dari partai lain serta kesadaran agar tidak menjadi 'anak dungu dan bodoh seumur-umur' membuatnya mundur teratur. Dia kemudian bergabung dengan Fadel Muhammad. Merealisasi gagasan melakukan 'kritik keroyokan' yang dikemas dalam 'temu budaya'.

Kritik ini diharap mampu mengubah sikap Jusuf Kalla (JK), Ketua Umum Partai Golkar yang selama ini dinilai 'arogan' dan tidak demokratis. Partai 'dipersamakan' perusahaan dengan saham tunggal, hingga segala keputusan yang 'mengancam' posisinya sebagai 'pemegang saham' cepat ditangkal melalui keputusan yang kaku dengan tangan besi.

Tapi naga-naganya pertemuan itu tidak hanya menghasilkan rekomendasi, ‘memaksa’ sikap DPP Golkar berubah. Bisa saja dari 'pertemuan Gorontalo' itu bergulir bola salju berarus kencang dan berpotensi menggusur JK lengser secara paksa. Bentuknya mungkin melalui skenario Munaslub, yang konotasinya sama dengan kudeta tak berdarah.

Indikasi soal itu kian terang, mengingat selain 'kelompok' dua tokoh penggalang 'temu budaya' itu yang datang, juga diundang puluhan pengurus DPD Golkar yang merasakan pudarnya pamor partai beringin dalam polesan tangan JK. Serta tentu, beberapa tokoh Golkar lain yang selama ini berseberangan dengan Sang Ketum.

Namun bagaimana pun hasil 'pertemuan Gorontalo' itu tidak akan mampu menyelamatkan partai ini dari keterpurukannya. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009 rasa-rasanya bakal menjadi pemilu kelabu bagi Partai Golkar. Sebab konflik internal yang berkepanjangan merusak konstituen. Apalagi pilar-pilar partai ini telah berserakan kemana-mana. Mereka membentuk partai baru dengan membawa setumpuk kader Golkar yang sudah kehilangan militansi.

Jika itu terjadi, berbahagialah Partai Hanura pimpinan Wiranto, Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, serta partai lain yang akan menerima bola liar, eksodus besar-besaran akibat 'geger ngoyak macan' di dalam tubuh Golkar. Memang, partai ini sekarang bukan sedang 'ngoyak macan', tapi lagi geger 'dioyak-oyak'.

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.